Pancasila adalah
ideologi dasar bagi negara Indonesia. Nama ini terdiri dari dua kata dari Sanskerta: pañca berarti
lima dan śīla berarti prinsip atau asas. Pancasila merupakan
rumusan dan pedoman kehidupan berbangsa dan bernegara bagi seluruh rakyat
Indonesia.
Lima
sendi utama penyusun Pancasila adalah Ketuhanan Yang Maha Esa, kemanusiaan yang
adil dan beradab, persatuan Indonesia, kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia, dan tercantum pada paragraf ke-4 Preambule
(Pembukaan) Undang-undang Dasar 1945.
1.2
Sejarah Perumusan
Dalam
upaya merumuskan Pancasila sebagai dasar negara yang resmi, terdapat
usulan-usulan pribadi yang dikemukakan dalam Badan Penyelidik Usaha Persiapan
Kemerdekaan Indonesia yaitu :
Lima
Dasar oleh Muhammad Yamin, yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945. Yamin merumuskan lima dasar sebagai
berikut: Peri Kebangsaan, Peri Kemanusiaan, Peri Ketuhanan, Peri Kerakyatan,
dan Kesejahteraan Rakyat. Dia menyatakan bahwa kelima sila yang dirumuskan itu
berakar pada sejarah, peradaban, agama, dan hidup ketatanegaraan yang telah
lama berkembang di Indonesia. Mohammad Hatta dalam memoarnya
meragukan pidato Yamin tersebut.[1]
Panca
Sila oleh Soekarno yang dikemukakan pada tanggal 1 Juni 1945 dalam
pidato spontannya yang kemudian dikenal dengan judul "Lahirnya Pancasila".
Sukarno mengemukakan dasar-dasar sebagai berikut: Kebangsaan;
Internasionalisme;
Mufakat,
dasar perwakilan, dasar permusyawaratan; Kesejahteraan; Ketuhanan. Nama
Pancasila itu diucapkan oleh Soekarno dalam pidatonya pada tanggal 1 Juni itu,
katanya:
Sekarang
banyaknya prinsip: kebangsaan, internasionalisme, mufakat, kesejahteraan, dan
ketuhanan, lima bilangannya. Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan
ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa - namanya ialah Pancasila.
Sila artinya azas atau dasar, dan diatas kelima dasar itulah kita mendirikan
negara Indonesia, kekal dan abadi.
Setelah
Rumusan Pancasila diterima sebagai dasar negara secara resmi beberapa dokumen
penetapannya ialah :
Rumusan
Pertama : Piagam Jakarta (Jakarta
Charter) - tanggal 22 Juni 1945
Rumusan
Kedua : Pembukaan Undang-undang Dasar - tanggal 18 Agustus 1945
Rumusan
Ketiga : Mukaddimah Konstitusi Republik Indonesia Serikat - tanggal 27 Desember 1949
Rumusan
Keempat : Mukaddimah Undang-undang Dasar Sementara - tanggal 15 Agustus 1950
Rumusan
Kelima : Rumusan Kedua yang dijiwai oleh Rumusan Pertama (merujuk Dekrit Presiden 5 Juli 1959)
1.3
Hari Kesaktian Pancasila
Pada
tanggal 30 September 1965,
adalah awal dari Gerakan 30
September (G30SPKI). Pemberontakan ini merupakan wujud usaha
mengubah unsur Pancasila menjadi ideologi komunis. Hari itu, enam Jendral dan
berberapa orang lainnya dibunuh sebagai upaya kudeta. Namun berkat kesadaran
untuk mempertahankan Pancasila maka upaya tersebut mengalami kegagalan. Maka 30 September diperingati sebagai Hari
Peringatan Gerakan 30 September G30S-PKI dan
tanggal 1 Oktoberditetapkan sebagai Hari Kesaktian
Pancasila, memperingati bahwa dasar Indonesia, Pancasila, adalah sakti, tak
tergantikan.
1.4
Butir-butir pengamalan Pancasila
Ketetapan
MPR no. II/MPR/1978 tentang Ekaprasetia Pancakarsa menjabarkan kelima asas
dalam Pancasila menjadi 36 butir pengamalan sebagai pedoman praktis bagi
pelaksanaan Pancasila.
36
BUTIR-BUTIR PANCASILA/EKA PRASETIA PANCA KARSA
A.
SILA KETUHANAN YANG MAHA ESA
Percaya
dan Takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama dan kepercayaan
masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hormat
menghormati dan bekerjasama antar pemeluk agama dan penganut-penganut
kepercayaan yang berbeda-beda sehingga terbina kerukunan hidup.
Saling
menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya.
Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
B.
SILA KEMANUSIAAN YANG ADIL DAN BERADAB
Mengakui
persamaan derajat persamaan hak dan persamaan kewajiban antara sesama manusia.
Saling
mencintai sesama manusia.
Mengembangkan
sikap tenggang rasa.
Tidak
semena-mena terhadap orang lain.
Menjunjung
tinggi nilai kemanusiaan.
Gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan.
Berani
membela kebenaran dan keadilan.
Bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia, karena itu
dikembangkan sikap hormat-menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
C.
SILA PERSATUAN INDONESIA
Menempatkan
kesatuan, persatuan, kepentingan, dan keselamatan bangsa dan negara di atas
kepentingan pribadi atau golongan.
Rela
berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
Cinta
Tanah Air dan Bangsa.
Bangga
sebagai Bangsa Indonesia dan ber-Tanah Air Indonesia.
Memajukan
pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-Bhinneka Tunggal Ika.
D.
SILA KERAKYATAN YANG DIPIMPIN OLEH HIKMAT KEBIJAKSANAAN DALAM PERMUSYAWARATAN /
PERWAKILAN
Mengutamakan
kepentingan negara dan masyarakat.
Tidak
memaksakan kehendak kepada orang lain.
Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
Musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi semangat kekeluargaan.
Dengan
itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil musyawarah.
Musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Keputusan
yang diambil harus dapat dipertanggung jawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai
kebenaran dan keadilan.
E.
SILA KEADILAN SOSIAL BAGI SELURUH RAKYAT INDONESIA
Mengembangkan
perbuatan-perbuatan yang luhur yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan
dan gotong-royong.
Bersikap
adil.
Menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menghormati
hak-hak orang lain.
Suka
memberi pertolongan kepada orang lain.
Menjauhi
sikap pemerasan terhadap orang lain.
Tidak
bersifat boros.
Tidak
bergaya hidup mewah.
Tidak
melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
Suka
bekerja keras.
Menghargai
hasil karya orang lain.
Bersama-sama
berusaha mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Ketetapan
ini kemudian dicabut dengan Tap MPR no. I/MPR/2003 dengan 45 butir Pancasila.
Tidak pernah dipublikasikan kajian mengenai apakah butir-butir ini benar-benar
diamalkan dalam keseharian warga Indonesia.
Bintang.
Bangsa
Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha
Esa.
Manusia
Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan
beradab.
Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut
kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
Membina
kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan
Yang Maha Esa.
Agama
dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut
hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
Mengembangkan
sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan
kepercayaannya masing-masing.
Tidak
memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada
orang lain.
Rantai.
Mengakui
dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa.
Mengakui
persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa
membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan
sosial, warna kulit dan sebagainya.
Mengembangkan
sikap saling mencintai sesama manusia.
Mengembangkan
sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
Mengembangkan
sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
Menjunjung
tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
Gemar
melakukan kegiatan kemanusiaan.
Berani
membela kebenaran dan keadilan.
Bangsa
Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
Mengembangkan
sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
Pohon
Beringin.
Mampu
menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan
negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
Sanggup
dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
Mengembangkan
rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
Mengembangkan
rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
Memelihara
ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan
sosial.
Mengembangkan
persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
Memajukan
pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
Kepala
Banteng
Sebagai
warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai
kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
Tidak
boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
Mengutamakan
musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
Musyawarah
untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
Menghormati
dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
Dengan
iktikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan
musyawarah.
Di
dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan
golongan.
Musyawarah
dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
Keputusan
yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang
Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran
dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
Memberikan
kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan
pemusyawaratan.
Padi
Dan Kapas.
Mengembangkan
perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan
kegotongroyongan.
Mengembangkan
sikap adil terhadap sesama.
Menjaga
keseimbangan antara hak dan kewajiban.
Menghormati
hak orang lain.
Suka
memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
Tidak
menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang
lain.
Tidak
menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup
mewah.
Tidak
menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan
umum.
Suka
bekerja keras.
Suka
menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan
kesejahteraan bersama.
Suka
melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
IMPLEMENTASI
PANCASILA DI ERA SETELAH REFORMASI
2.1
Implementasi Pancasila
Setelah
bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil mendirikan negara merdeka,
perjuangan belum selesai. Perjuangan malah bisa dikatakan baru mulai, yaitu
upaya menciptakan masyarakat yang sejahtera lahir batin, sebagaimana
diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Para pendiri Negara (the founding father)
telah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa akan diisi nilai-nilai yang telah ada
dalam budaya bangsa, kemudian disebut nilai-nilai Pancasila.
Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai
tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18
Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar negara
Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No. I/MPR/1988 No.
I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga
sekarang.
Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar
negara, maka seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari
oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi akibat
hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah berpedoman
kepada Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi Pancasila dalam sejarah
Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai
Pancasila yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan
kesatuan NKRI.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan
mulai pada masa orde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia
baru memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi
presiden yang pertama Republik Indonesia.
Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya
nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila disarikan dan digali dari
nilai-nilai budaya yang telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pencetus dan penggali Pancasila yang pertama adalah Soekarno sendiri. Sebagai
tokoh nasional yang paling berpengaruh pada saat itu, memilih sila-sila yang
berjumlah 5 (lima) yang kemudian dinamakan Pancasila dengan pertimbangan utama
demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan
bangsa wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam
mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena sangat
dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga pengisian kemerdekaan
dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu
A. Masa Orde Lama.
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan
paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya
konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri
diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana
transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.
Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama
dalam sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang
berbeda-beda pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila
yang berbeda, yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode
1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja
menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti
Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui
pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara
dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi
ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi
Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat tantangan.
Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah dan mufakat
tidak dapat dilaksanakan,
sebab demokrasi yang diterapkan adalah demokrasi
parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala negara, sedang
kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini menyebabkan tidak
adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun konstitusi yang
digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil, namun dalam praktek
kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap
Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat,
melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal
sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan
kesatuan mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS,
PRRI, dan Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik,
demokrasi berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap
paling demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat
menyusun UUD seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik,
ekonomi, dan keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden
1959 untuk membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada
UUD 1945. Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini
adalah Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak
menjamin stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi
terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin
adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden
Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam
konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden
seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan
Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral
di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila,
dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam
mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan
paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau
menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia,
demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian
nasional. Hasilnya terjadi kudeta PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan.
Walaupun posisi Indonesia tetap dihormati di dunia internasional dan integritas
wilayah serta semangat kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik
adalah Pancasila telah diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan
tidak member ruang pada demokrasi bagi rakyat.
B. Masa Orde Baru.
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang
telah menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi
konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan
ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit,
memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan
strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh
Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang
Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan
stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah
terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan
trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita
lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto
melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang
disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau
Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era
sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan
Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan
kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi
politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan
sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan
kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya
tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi
dimana-mana yang dilakukan oleh aparat pemerintah atau
negara. Pancasila seringkali digunakan sebagai legimitator tindakan yang
menyimpang. Ia dikeramatkan sebagai alasan untuk stabilitas nasional daripada
sebagai ideologi yang memberikan ruang kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan,
Pancasila selama Orde Baru diarahkan menjadi ideology yang hanya menguntungkan
satu golongan, yaitu loyalitas tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan
kesatuan hak-hak demokrasi dikekang.
C. Masa Orde Reformasi
Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap
Orde Lama, kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde
yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru.
Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran
rakyat bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan
partai politik, LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai lebih baik
daripada masa Orba. Namun, sangat disayangkan para elit politik yang
mengendalikan pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan
hukum. Dalam bidang sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap,
dan bertindak amat memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru
menimbulkan semangat primordialisme. Benturan antar suku, antar umat beragama,
antar kelompok, dan antar daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat
dan pengerahan masa menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang
berpotensi tindakan kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego
kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah
satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi,
dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila
sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/ prinsip/pandangan hidup) dan
merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari
kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan
budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa
persatuan, sesuai dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama
warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa
daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang
masih terjadi di Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak
menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat,
seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang
lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah
memiliki empat Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai
masalah. Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri,
Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi
hanya sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi
dan arus demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis
prodemokrasi tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha
mengutamakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan
landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para
politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru
menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat.
Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan
pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah
lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh
pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana asing
dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar.
Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal
dengan ”subversi asing”, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena
campur tangan secara halus pihak asing. Di dalam pendidikan formal, Pancasila
tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib sehingga nilai-nilai Pancasila
pada masyarakat melemah.
2.2
Pancasila Pasca Reformasi
Pancasila
mengandung makna yang amat penting bagi sejarah perjalanan Bangsa Indonesia.
Karena itulah Pancasila dijadikan sebagai dasar negara ini. Artinya segala
tindak tanduk dari orang-orang yang termaktub sebagai warga negara dari
republik yang bernama Indonesia, haruslah didasarkan pada nilai-nilai dan
semangat Pancasila. Apakah dia sebagai seorang politisi, birokrat, aktivis,
buruh, mahasiswa dan lain sebagainya. Pancasila dan UUD 1945 sudah final dan
tidak boleh lagi diganggu gugat sebagai landasan dan falsafah yang mengatur dan
mengikat kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila pun terbukti sangat ampuh
sebagai pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan dalam berpolitik. Tidak
ada yang lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi diperdebatkan
lagi. Itu sudah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia ketika negara ini
didirikan. Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut adalah
hasil dari penggalian karakter dan budaya masyarakat Indonesia.
Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia.Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh bertentangan dengan ideologi
Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia.Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh bertentangan dengan ideologi
yang
resmi yaitu Pancasila yang sudah direduksi oleh ideologi negara/Orde Baru.
Disinilah
terjadi
penafsiran sepihak terhadap Pancasila oleh rezim Orde Baru. Ideologi yang
bertentangan akan berada dalam kategori yang harus dimusnahkan atau ditindak.
Pengasastunggalan Pancasila merupakan cara rezim Orde Baru untuk menyatukan
pandangan-pandangan, tetapi akhirnya menjadi penindasan ideologis, sehingga
orang-orang yang mempunyai gagasan kreatif dan kritis menjadi takut. Belum lagi
penindasan secara fisik seperti pembunuhan terhadap orang di Timor-Timur, Aceh,
Irian Jaya, kasus Tanjung Priok, pengrusakan/penghancuran pada kasus 27 Juli
dan seterusnya. Perlakuan diskriminasi oleh negara juga dirasakan oleh
masyarakat non pribumi (keturunan) dan masyarakat golongan minoritas. Mereka
merasa diasingkan, bahkan acapkali mereka hanya dijadikan sebagai kambing hitam
jika ada masalah, atau diperas secara ekonomi. Sedangkan orang-orang yang
dijadikan tapol dan napol dijadikan sebagai contoh bagi masyarakat bagaimana
kalau mereka tidak tunduk kepada penguasa. Inilah salah satu contoh bentuk
kekerasan politik.
Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Anti Subversi merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk menjerat pi hak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dengan dalih GPK, PKI, OTB, dan sebagainya. Penguasa Orde Baru bukan lagi memberantas kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah melakukan berbagai bentuk kejahatan politik dan melanggar HAM. Dengan subjektivitasnya, penguasa ORBA bertindak sebagai "wasit" yang menilai warganya, apakah perbuatan seseorang itu tergolong subversif atau bukan. Dalam hal ini hanya masyarakat pembangkang saja yang diposisikan sebagai obyek UU Subversi itu. Sedangkan pihak-pihak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bahagian dari sistem pemerintahan Orde Baru. Ditinjau dari segi demokrasi sebagai wujud pelaksanaan Sila IV, rezim Orde Baru justru menghambat proses demokratisasi itu sendiri. Antara lain; dengan proses departaisasi atau pembatasan jumlah partai, pengekangan kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis demokrasi, rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya. Di bidang hukum, penyelesaian kasus yang
Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Anti Subversi merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk menjerat pi hak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dengan dalih GPK, PKI, OTB, dan sebagainya. Penguasa Orde Baru bukan lagi memberantas kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah melakukan berbagai bentuk kejahatan politik dan melanggar HAM. Dengan subjektivitasnya, penguasa ORBA bertindak sebagai "wasit" yang menilai warganya, apakah perbuatan seseorang itu tergolong subversif atau bukan. Dalam hal ini hanya masyarakat pembangkang saja yang diposisikan sebagai obyek UU Subversi itu. Sedangkan pihak-pihak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bahagian dari sistem pemerintahan Orde Baru. Ditinjau dari segi demokrasi sebagai wujud pelaksanaan Sila IV, rezim Orde Baru justru menghambat proses demokratisasi itu sendiri. Antara lain; dengan proses departaisasi atau pembatasan jumlah partai, pengekangan kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis demokrasi, rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya. Di bidang hukum, penyelesaian kasus yang
berkaitan
dengan penguasa tidak mencerminkan rasa keadilan, misalnya; kasus Marsinah,
kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian Jaya), kasus Udin, kasus Jamsostek yang
melibatkan pejabat negara, dan lain-lain.
Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru seakan-akan memuncak ketika gong reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya, menjelang dan sesudah Soeharto "lengser" dari jabatan Presiden RI, 21 Mei 1998 lalu, berbagai peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai kehidupan bangsa kita sekaligus menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai dasar dan ideology negara. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini. Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi. Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain
Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru seakan-akan memuncak ketika gong reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya, menjelang dan sesudah Soeharto "lengser" dari jabatan Presiden RI, 21 Mei 1998 lalu, berbagai peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai kehidupan bangsa kita sekaligus menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai dasar dan ideology negara. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini. Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi. Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain
pada
masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah melampaui
sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai
sebagai konsepsi politik yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil.
Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi ditengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi sema.
SUDAH hitungan tahun Indonesia memasuki era reformasi. Berbagai perubahan dilakukan untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah payung ideologi Pancasila. Namun, faktanya masih banyak masalah sosial-ekonomi yang belum terjawab. Eksistensi dan peranan Pancasila dalam reformasi pun dipertanyakan. Mampukah Pancasila memberikan pengharapan lebih baik untuk negeri ini? Dilihat dari faktanya sungguh memprihatinkan. Reformasi belum berlansung dengan baik karena Pancasila belum difungsikan secara maksimal sebagaimana mestinya. Banyak masyarakat yang hafal butir-butir Pancasila, tetapi belum memahami makna sesungguhnya.
Bangsa Indonesia merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. “Kita alami bersama-sama dan sebagian sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan sisanya, sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita bersama dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui kerawanan dalam masa transisi, nilai dan tatanan lama telah ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujudngat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.
Semenjak Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan ke-alergi-an masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi mencoba untuk menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual, agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi. Apalagi ditengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi sema.
SUDAH hitungan tahun Indonesia memasuki era reformasi. Berbagai perubahan dilakukan untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah payung ideologi Pancasila. Namun, faktanya masih banyak masalah sosial-ekonomi yang belum terjawab. Eksistensi dan peranan Pancasila dalam reformasi pun dipertanyakan. Mampukah Pancasila memberikan pengharapan lebih baik untuk negeri ini? Dilihat dari faktanya sungguh memprihatinkan. Reformasi belum berlansung dengan baik karena Pancasila belum difungsikan secara maksimal sebagaimana mestinya. Banyak masyarakat yang hafal butir-butir Pancasila, tetapi belum memahami makna sesungguhnya.
Bangsa Indonesia merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. “Kita alami bersama-sama dan sebagian sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan sisanya, sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita bersama dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui kerawanan dalam masa transisi, nilai dan tatanan lama telah ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujudngat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.
Eksistensi Pancasila di era reformasi ini mestinya menjadi dasar, acuan atau paradigma baru. Pancasila adalah dasar negara yang sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam UUD 1945. Tetapi sekarang bangsa ini sering mengenyampingkan Pancasila. Padahal reformasi yang benar justru melaksanakan atau mengamalkan Pancasila untuk kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dengan jiwa Pancasila seharusnya gerakan reformasi harus mampu menggalang persatuan demi pembenahan krisis multidimensional dewasa ini. Tidak satu golonganpun bisa memenangkan reformasi tanpa persatuan dengan golongan-golongan lainnya. Pengalaman kegagalan dan kemacetan gerakan reformasi selama ini telah membuktikan hal itu. Dengan persatuan setapak demi setapak gerakan reformasi akan diharapkan membawa Indonesia menjadi negara yang demokratik, kuat sentosa, aman tenteram dan adil makmur. Harap dicamkan: ”Persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan..” Dan agar persatuan bisa tercapai: “Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan” Demikianlah “2 kalimat kunci persatuan” Bung Karno yang diamanatkan kepada kita bangsa Indonesia 76 tahun yang lalu.
Agar Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat. Kita patut bersyukur, bahwa empat kali amandemen UUD 1945 dalam era reformasi nasional telah mampu menampung dinamika bangsa ini, khususnya dengan mengakui kesetaraan antara berbagai unsur dalam batang tubuh bangsa Indonesia serta mewadahinya dalam sistem dan struktur pemerintahan yang baru.
KESIMPULAN
:
· Konsep
Pancasila sebagai asar negara di ajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya di
hari terakhir siding pertama BPUPKI tanggal 1 juni 1945, yang isinya untuk
menjadikan Pancasila sebagai dasar falsafah negara atau filosophischegrondslag
bagi mnegara Indopnesia merdeka.
· Bangsa
dan negara RI dengan ideologi Pancasila meiliki cita-cita atau pandangan dalam
mendukung tercapainya tujuan nasional negara RI.
Idiologi pancasila memiliki berbagai aspek, baik berupa cita-cita pemikiran atau nilai-nilai maupun norma yang baik dapat di realisasikan dalam kehidupan praksis dan bersifat terbuka dengan memiliki tiga dimensi yaitu:
a. Dimensi idialis artinya nilai-nilai dasar dari pancasila memilikiu sifat yang sistematis,juga rasional dan bersifat menyeluruh.
b. Dimensi normatis merupakan nilai-nilai yang terrkandung dalam sila pancasila yang perlu di jabarkan kedalam system norma sehingga tersirat dan tersurat dalam norma-norma negara.
c. Dimensi realistis adalah nilai-nilai pancasila yang di maksud di atas harus mampu memberikan pencerminan atas realitas yang hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya
Idiologi pancasila memiliki berbagai aspek, baik berupa cita-cita pemikiran atau nilai-nilai maupun norma yang baik dapat di realisasikan dalam kehidupan praksis dan bersifat terbuka dengan memiliki tiga dimensi yaitu:
a. Dimensi idialis artinya nilai-nilai dasar dari pancasila memilikiu sifat yang sistematis,juga rasional dan bersifat menyeluruh.
b. Dimensi normatis merupakan nilai-nilai yang terrkandung dalam sila pancasila yang perlu di jabarkan kedalam system norma sehingga tersirat dan tersurat dalam norma-norma negara.
c. Dimensi realistis adalah nilai-nilai pancasila yang di maksud di atas harus mampu memberikan pencerminan atas realitas yang hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya
SARAN
:
· Kegunaan
teoritik bahwa dengan mempelajari filsafat orang bertambah pengetahuanya.bahkan
ia mampu mempelajari segala sesuatu dengan cara yang baik.mendalam dan lebih
luas.
Bagi bangsa Indonesia , filsafat Pancasila sangat berguna, selain manusia sebagai perseorangan juga sebagai warga suatu masyarakat bangsa mendukung cita-cita ataupun tujuan nasional, karena filsafat pancasila adalah landasan dasarnya, juga landasan dasar berpikir segenap bangsa dan negara Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia , filsafat Pancasila sangat berguna, selain manusia sebagai perseorangan juga sebagai warga suatu masyarakat bangsa mendukung cita-cita ataupun tujuan nasional, karena filsafat pancasila adalah landasan dasarnya, juga landasan dasar berpikir segenap bangsa dan negara Indonesia.
· Menghadapi
era globalisasi ekonomi, ancaman bahaya laten terorisme, komunisme dan
fundamentalisme merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Disamping itu yang patut diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa
di Indonesia yang kini semakin kuat. Ketika bangsa ini kembali
dicoba oleh pengaruh asing untuk dikotak kotakan tidak saja oleh konflik
vertikal tetapi juga oleh pandangan terhadap ke Tuhanan Yang Maha Esa.Maka dari
itu Perlunya Penanaman Pancasila dalam kehidupan
No comments:
Post a Comment