BAB
I
KAJIAN
KASUS
Berikut ini adalah salah satu contoh kasus nyata malpraktik yang
dilakukan oleh bidan di daerah Jawa Timur berhubungan dengan kesalahan bidan
yang menolong persalinan sungsang dan tidak merujuk ke fasilitas kesehatan yang
berhak untuk menangani kasus tersebut.
Inilah kisah
tragis bayi Nunuk Rahayu :
Proses persalinan ibu
yang tinggal di Batu, Malang ini sungguh tragis.Diduga karena kesalahan bidan,
si bayi pun meninggal dalam keadaan tragis.Kegagalan dalam proses melahirkan
memang bisa terjadi pada wanita mana saja. Bahkan yang paling buruk, si bayi meninggal
juga bisa saja terjadi.
Namun, yang dialami oleh
Nunuk Rahayu (39 tahun) ini memang kelewat tragis. Ia melahirkan secara
sungsang. Bidan yang menangani, diduga melakukan kesalahan penanganan.
Akibatnya, si bayi lahir dengan kondisi kepala masih tertinggal di rahim!
Kejadian yang demikian
tragis itu diceritakan Wiji Muhaimin (40), suami Nunuk. Sore itu Selasa, Nunuk
mengeluh perutnya sakit sebagai tanda akan melahirkan. Ibu dua anak ini
berharap kelahiran anak ketiganya akan semakin melengkapi kebahagiaan rumah
tangganya. Sang suami, segera berkemas-kemas dan mengantarkan istrinya ke bidan
Tutik Handayani, tak jauh dari rumahnya di Jalan Imam Bonjol, Batu, Malang,
Jawa Timur.
Sesampai di tempat
bersalin, sekitar jam 15.00, Nunuk langsung diperiksa bidan untuk mengetahui keadaan
kesehatan si bayi.Menurut Bu Han (panggilan Tutik Handayani), kondisi anak saya
dalam keadaan sehat. Saya disuruh keluar karena persalinan akan dimulai,kata
Wiji saat ditemui, Jumat (11/8). Meski menunggui kelahiran anak ketiga, Wiji tetap
saja diliputi ketegangan.
Apalagi, persalinan
berlangsung cukup lama. Setiap pembantu Bu Han keluar ruang persalinan, saya
selalu bertanya apakah anak saya sudah lahir. Jawabannya selalu belum. Katanya,
bayi saya susah keluar. Istri saya mesti diberi suntikan obat perangsang sampai
dua kali agar jabang bayi segera keluar,papar Wiji. Wiji sempat pulang sebentar
untuk menjalankan salat magrib. Usai salat, lelaki berkumis lebat ini kembali
ke bidan.
Baru
saja memasuki klinik bersalin, bidan Han ke luar dari ruang persalinan dengan
tergopoh-gopoh. Bidan yang sudah praktik sejak tahun 1972 itu berteriak minta
tolong kepadanya. Pak, tolong bantu saya!teriaknya kepada Wiji.Lelaki yang
sehari-hari berjualan es dan mainan anak-anak di sekolah-sekolah ini, tak
mengerti maksud bidan. Wiji mengikuti bidan Han masuk ruang persalinan. Mata
Wiji langsung terbelalak begitu melihat pemandangan yang begitu mencekam.Si
jabang bayi memang sudah keluar, namun kepala bayi masih berada di dalam rahim.
Di
tengah kepanikan, bidan memintanya untuk menahan tubuh si bayi sedang kedua
perawat bertugas menekan perut ke bawah untuk membantu mengeluarkan kepala
bayi. Kala itu, kondisi istri Wiji antara sadar dan tidak.Ia hanya bisa merinih
kesakitan saja, imbuh Wiji.
Selanjutnya,
bidan Tutik meminta Wiji menarik tubuh bayi agar segera keluar dari rahim.
Namun, Wiji enggan melakukannya. Ia hanya menahan tubuh bayi agar tak
menggantung.Saya tak tega menarik tubuh anak saya. Apa jadinya kalau saya tarik
kemudian sampai lepas. Yang saya lakukan hanya terus istigfar, tutur Wiji
sambil mengisap rokoknya dalam-dalam.
Kala
itu, Wiji sudah tak sanggung membendung air matanya. Ia paham, anak bungsunya
sudah tak bernyawa lagi. Ia tahu karena tubuh si bayi sudah lemas dan tak ada
gerakan sama sekali. Sampai 15 menit kemudian, tetap saja kepala bayi belum
berhasil dikeluarkan. Wiji pun tak tega melihat penderitaan istrinya. Saya
berikan tubuh bayi saya kepada Bu Han.
Lalu,
Wiji sambil berurai air mata mendekati istrinya yang tengah kesakitan dan
berjuang antara hidup dan mati. Sejurus kemudian dia mendengar si bidan semakin
panik. Bahkan, si bidan sempat mengeluh, Aduh yok opo iki. (aduh bagaimana
ini).Saya sudah tak berani melihat bagaimana bidan menangani anak saya. Saya
hanya menatap wajah istri saya,ujar Wiji.
Beberapa saat kemudian,
selintas Wiji melihat tubuh anaknya sudah diangkat dan ditempatkan di ranjang
sebelah. Yang mengerikan, kepala si jabang bayi
belum juga berhasil dikeluarkan. Saya tak berani memandangi wajah anak saya. Pikiran
saya sangat kalut, urainya.
Dengan
nada setengah berteriak lantaran panik, bidan mengajak Wiji untuk membawa
istrinya ke BKIA Islam Batu, untuk penanganan lebih lanjut. Beruntung ada mobil
pick up yang siap jalan. Setiba di sana, istri Wiji segera ditangani. Dr.
Sutrisno, SpOG, langsung melakukan tindakan untuk mengeluarakan kepala si bayi
dari rahim istrinya. Baru setelah itu, kepala disambung kembali dengan tubuh
bayi,urai Wiji.
Si
jabang bayi segera dimakamkan.Wiji pun memberi nama anaknya Ratna Ayu Manggali.
Nama itu memang permintaan istri saya sejak mengandung. Makanya, saya tetap
memberinya nama, meski dia tak sempat hidup,ujar Wiji.Kepergian si jabang bayi
mendatangkan duka mendalam bagi Wiji.Lantas apa langkah Wiji? Setelah melakukan
rapat keluarga, kami sepakat untuk melaporkan kasus ini polisi,kata Wiji yang
selama wawancara ditemani Riyanto, sepupunya.
Baik Wiji maupun Riyanto
menyesalkan tindakan sang bidan. Sebab, kalau keadaan bayi sungsang, seharusnya
sejak awal bidan merujuk ke dokter kandungan.Waktu itu, Bu Han bilang sanggup
menangani. Makanya saya mempercayakan persalinan istri saya kepadanya,papar
Wiji.Selain itu, Riyanto melihat ada upaya untuk mengaburkan kasus ini dengan
mengalihkan kesalahan kepada Wiji. Misalnya saja pada saat bidan kesulitan
mengeluarkan kepala bayi, bidan berusaha memanggil Wiji dan memintanya untuk
menarik. Untung saja Mas Wiji tidak mau melakukan. Coba kalau ditarik beneran
lalu putus, pasti yang disalahkan oleh Bu Han adalah Mas Wiji,urai Riyanto.
Lelaki yang sehari-hari
sebagai takmir masjid sekaligus tukang memandikan jenazah ini tak menampik
bahwa bidan Han merupakan bidan senior di Batu. Ia sudah menangani ribuan
persalinan, termasuk dua anak Wiji.Namun dalam kasus ini, Bu Han tetap saja
salah. Makanya saya tolak ajakan damai meski banyak pihak meminta. Ini adalah
persoalan hukum, mari diselesaikan secara hukum,tegas Riyanto.
Sementara Nunuk sendiri
sepulang dari rumah sakit masih tampak lemas dan syok. Ia sempat dirawat selama
tiga hari. Para tetangga sekitar berbondong-bondong memenuhi kamarnya yang
sempit dan sangat sederhana. Nunuk tak sanggup menceritakan saat-saat
menegangkan dalam hidupnya.Saya tak ingat persis bagaimana bisa seperti itu.
Waktu itu perasaan saya antara sadar dan tidak karena sakitnya luar biasa,ucapnya
lirih.
BAB II
PEMBAHASAN
A. PENDAHULUAN
Mengamati pemberitaan
media massa akhir-akhir ini, terlihat peningkatan dugaan kasus malpraktek dan
kelalaian medik di Indonesia, terutama yang berkenaan dengan kesalahan
diagnosis dokter yang berdampak buruk terhadap pasiennya. Dalam rentang dua
bulan terakhir ini, media massa marak memberitahukan tentang kasus gugatan/
tuntutan hukum (perdata dan/ atau pidana) kepada dokter, tenaga medis lain,
dan/ atau manajemen rumah sakit yang diajukan masyarakat konsumen jasa medis
yang menjadi korban dari tindakan malpraktik (malpractice) atau kelalaian
medis.
Ada berbagai faktor yang
melatarbelakangi munculnya gugatan-gugatan malpraktik tersebut dan semuanya
berangkat dari kerugian psikis dan fisik korban. Mulai dari kesalahan diagnosis
dan pada gilirannya mengimbas pada kesalahan terapi hingga pada kelalaian
dokter pasca operasi pembedahan pada pasien (alat bedah tertinggal didalam
bagian tubuh), dan faktor-faktor lainnya.
Masalah
dugaan malpraktik medik, akhir-akhir ini, sering diberitakan di media masa.
Namun, sampai kini, belum ada yang tuntas penyelesaiannya. Putusan pengadilan
apakah ada kelalaian atau tidak atau tindakan tersebut merupakan risiko yang
melekat pun belum pernah diambil.
Masyarakat
hanya melihat dampak dan akibat yang timbul dari tindakan malpraktik tersebut.
Semua bergantung kepada si penafsir masing-masing (keluarga, media massa,
pengacara), dan tidak ada proses hukumnya yang tuntas. Karena itu sangat perlu
bagi kita terutama tenaga medis untuk mengetahui sejauh mana malpraktek
ditinjau dari segi etika dan hokum.
B. PENGERTIAN MALPRAKTEK
Malpraktek merupakan
istilah yang sangat umum sifatnya dan tidak selalu berkonotasi yuridis. Secara
harfiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek” mempunyai arti
“pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga malpraktek berarti “pelaksanaan atau
tindakan yang salah”. Meskipun arti harfiahnya demikian tetapi kebanyakan
istilah tersebut dipergunakan untuk menyatakan adanya tindakan yang salah dalam
rangka pelaksanaan suatu profesi.
Sedangkan difinisi
malpraktek profesi kesehatan adalah “kelalaian dari seseorang dokter atau
tenaga keperawatan (perawat danbidan) untuk mempergunakan tingkat kepandaian
dan ilmu pengetahuan dalam mengobati dan merawat pasien, yang lazim
dipergunakan terhadap pasien atau orang yang terluka menurut ukuran
dilingkungan yang sama” (Valentin v. La Society de Bienfaisance Mutuelle de Los
Angelos, California, 1956).Berlakunya norma etika
dan norma hukum dalam profesi bidan.
Di
dalam setiap profesi termasuk profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan
norma hukum. Oleh sebab itu apabila timbul dugaan adanya kesalahan praktek
sudah seharusnyalah diukur atau dilihat dari sudut pandang kedua norma
tersebut. Kesalahan dari sudut pandang etika disebut ethical malpractice dan
dari sudut pandang hukum disebut yuridical malpractice.
Hal
ini perlu difahami mengingat dalam profesi tenaga bidan berlaku norma etika dan
norma hukum, sehingga apabila ada kesalahan praktek perlu dilihat domain apa
yang dilanggar. Karena antara etika dan hukum ada perbedaan-perbedaan yang
mendasar menyangkut substansi, otoritas, tujuan dan sangsi, maka ukuran
normatif yang dipakai untuk menentukan adanya ethica malpractice atau yuridical
malpractice dengan sendirinya juga berbeda. Yang jelas tidak setiap ethical
malpractice merupakan yuridical malpractice akan tetapi semua bentuk yuridical
malpractice pasti merupakan ethical malpractice (Lord Chief Justice, 1893).
C. MALPRAKTEK DI BIDANG
HUKUM
Untuk malpraktek hukum
atau yuridical malpractice dibagi dalam 3 kategori sesuai bidang hukum yang
dilanggar, yakni Criminal malpractice,Civil malpractice dan Administrative
malpractice.
1.
Criminal malpractice
Perbuatan seseorang dapat dimasukkan dalam
kategori criminal malpractice manakala perbuatan tersebut memenuhi rumusan
delik pidana yakni perbuatan tersebut (positive act maupun negative act)
merupakan perbuatan tercela dan dilakukan dengan sikap batin yang salah (mens
rea) yang berupa kesengajaan (intensional), kecerobohan (reklessness) atau
kealpaan (negligence).
Criminal malpractice yang bersifat sengaja
(intensional):
1) Pasal 322 KUHP, tentang Pelanggaran Wajib
Simpan Rahasia Kebidanan, yang berbunyi:
Ayat (1) Barangsiapa dengan sengaja membuka rahasia
yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang,
maupun yang dahuluj diancam dengan pidana penjara paling lama sembi Ian bulan
atau denda paling banyak enam ratu rupiah.
2) Ayat (2) Jika kejahatan dilakukan
terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut ata
pengaduan orang itu.
3) Pasal 346 sampai dengan
pasal 349 KUHP, tentang Abortus Provokatus. Pasal 346 KUHP Mengatakan:
4) Seorang wanita yang sengaja
menggugurkan atau mematikan kandungannya atau menyuruh orang lain untuk itu,
diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun.
5) Pasal 348 KUHP menyatakan:
6) Ayat (1) Barangsiapa dengan
sengaja menggugurkan atau me¬matikan kandungan seorang wanita dengan
persetujuannya, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun enam bulan
7) Ayat (2) Jika perbuatan itu
mengakibatkan matinya wanita ter¬sebut, dikenakan pidana penjara paling lama
tujuh tahun.
8) Pasal 349 KUHP menyatakan:
9) Jika seorang dokter, bidan atau
juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346, ataupun
melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan dalam
pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat ditambah
dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian dalam mana
kejahatan di¬lakukan.
10) Pasal 351 KUHP, tentang penganiayaan,
yang berbunyi:
11) Ayat (1) Penganiayaan diancam dengan
pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak
tiga ratus rupiah.
12) Ayat (2) Jika perbuatan mengakibatkan
luka-luka berat, yang bersalah dikenakan
13) pidana penjara paling lama lima tahun.
14) Ayat (3) Jika mengakibatkan mati,
dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
15) Ayat (4)
Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan.
Ayat (5) Percobaan untuk
melakukan kejahatan ini tidak dipdana.
Criminal malpractice yang bersifat ceroboh
(recklessness) misalnya melakukan tindakan medis tanpa persetujuan pasien
informed consent.
1) Pasal 347 KUHP menyatakan:
Ayat (l) Barangsiapa dengan sengaja menggugurkan
dan me¬matikan kandungan seorang wanita tanpa persetujuannya, diancam dengan
pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Ayat (2) Jika perbuatan itu menyebabkan matinya
wanita tersebut, dikenakart pidana penjara paling lama lima belas tahun.
2) Pasal 349 KUHP menyatakan:
Jika seorang dokter,
bidan atau juru obat membantu melakukan kejahatan yang tersebut pasal 346,
ataupun melakukan atau membantu melakukan salah satu kejahatan yang diterangkan
dalam pasal 347 dan 348, maka pidana yang ditentukan dalam pasal itu dapat
ditambah dengan sepertiga dan dapat dicabut hak untuk menjalankan pencaharian
dalam mana kejahatan di¬lakukan.
Criminal malpractice
yang bersifat negligence (lalai) misalnya kurang hati-hati melakukan proses
kelahiran.
1) Pasal-pasal 359
sampai dengan 361 KUHP, pasal-pasal karena lalai menyebabkan mati atau
luka-luka berat.
Pasal 359 KUHP, karena
kelalaian menyebabkan orang mati :
Barangsiapa karena kealpaannya menyebabkan
mati-nya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau
kurungan paling lamasatu tahun.
2)
Pasal 360 KUHP, karena kelalaian menyebakan luka berat:
Ayat (1) Barangsiapa
karena kealpaannya menyebakan orang lain mendapat luka-luka berat, diancam dengan
pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lamasatu tahun.
Ayat (2) Barangsiapa
karena kealpaannya menyebabkan orang lain luka-luka sedemikian rupa sehinga
menimbulkan penyakit atau alangan menjalankan pekerjaan, jabatan atau pencaharian
selama waktu tertentu, diancam de¬ngan pidana penjara paling lama sembilan
bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.
3)
Pasal 361 KUHP, karena kelalaian dalam melakukan jabatan atau pekerjaan
(misalnya: dokter, bidan, apoteker, sopir, masinis dan Iain-lain) apabila
melalaikan peraturan-peraturan pekerjaannya hingga mengakibatkan mati atau luka
berat, maka mendapat hukuman yang lebih berat pula.
Pasal 361 KUHP
menyatakan:
Jika
kejahatan yang diterangkan dalam bab ini di-lakukan dalam menjalankan suatu
jabatan atau pen¬caharian, maka pidana ditambah dengan pertiga, dan yang
bersalah dapat dicabut haknya untuk menjalankan pencaharian dalam mana
dilakukan kejahatan dan hakim dapat memerintahkan supaya putusnya di-umumkan.
Pertanggung jawaban
didepan hukum pada criminal malpractice adalah bersifat individual/personal dan
oleh sebab itu tidak dapat dialihkan kepada orang lain atau kepada rumah
sakit/sarana kesehatan.
#Civil
malpractice
Seorang
bidan akan disebut melakukan civil malpractice apabila tidak melaksanakan
kewajiban atau tidak memberikan prestasinya sebagaimana yang telah disepakati
(ingkar janji).
1.Tindakan bidan yang
dapat dikategorikan civil malpractice antara lain:
2.Tidak melakukan apa
yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan.
3.Melakukan
apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi terlambat melakukannya.
3.Melakukan
apa yang menurut kesepakatannya wajib dilakukan tetapi tidak sempurna.
4.Melakukan apa yang
menurut kesepakatannya tidak seharusnya dilakukan.Pertanggung jawaban civil
malpractice dapat bersifat individual atau korporasi dan dapat pula dialihkan
pihak lain berdasarkan principle of vicarius liability. Dengan prinsip ini maka
rumah sakit/sarana kesehatan dapat bertanggung gugat atas kesalahan yang
dilakukan karyawannya (bidan) selama bidan tersebut dalam rangka melaksanakan
tugas kewajibannya.
#Administrative
malpractice
Bidan dikatakan telah
melakukan administrative malpractice manakala bidan tersebut telah melanggar
hukum administrasi. Perlu diketahui bahwa dalam melakukan police power,
pemerintah mempunyai kewenangan menerbitkan berbagai ketentuan di bidang
kesehatan, misalnya tentang persyaratan bagi bidan untuk menjalankan profesinya
(Surat Ijin Kerja, Surat Ijin Praktek), batas kewenangan serta kewajiban bidan.
Apabila aturan tersebut dilanggar maka tenaga kesehatan yang bersangkutan dapat
dipersalahkan melanggar hukum administrasi.
D. LANDASAN HUKUM
WEWENANG BIDAN
Bidan adalah salah satu tenaga kesehatan. Pengaturan
tenaga kesehatan ditetapkan di dalam undang-undang dan Peraturan Pemerintah.
Tugas dan kewenangan bidan serta ketentuan yang berkaitan dengan kegiatan
praktik bidan diatur di dalam peraturan atau Keputusan Menteri Kesehatan.
Kegiatan praktik bidan dikontrol oleh peraturan tersebut. Bidan harus dapat
mempertanggungjawabkan tugas dan kegiatan yang dilakukannya sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Setiap bidan memiliki
tanggung jawab memelihara kemampuan profesionalnya. Oleh karena itu bidan harus
selalu meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya dengan cara mengikuti
pelatihan, pendidikan berkelanjutan, seminar, dan pertemuan ilmiah lainnya.
Syarat Praktik Profesional Bidan
Harus memiliki Surat
Ijin Praktek Bidan (SIPB) baik bagi bidan yang praktik pada sarana kesehatan
dan/atau perorangan Bdan Praktek Swasta (BPS).
Bidan yang praktik perorangan harus memenuhi
persyaratan yang meliputi tempat dan ruangan praktik, tempat tidur, peralatan,
obat-obatan dan kelengkapan administrasi.
Dalam
menjalankan praktik profesionalnya harus sesuai dengan kewenangan yang
diberikan, berdasarkan pendidikan dan pengalaman serta berdasarkan standar
profesi.
Dalam menjalankan
praktik profesionalnya harus menghormati hak pasien, memperhatikan kewajiban
bidan, merujuk kasus yang tidak dapat ditangani, meminta persetujuan tindakan
yang akan dilakukan dan melakukan medical record dengan baik.
Dalam menjalankan praktik profesionalnya bidan
wajib melakukan pencatatan dan pelaporan.
Wewenang Bidan dalam
Menjalankan Praktik Profesionalnya
Dalam menangani kasus
seorang bidan diberi kewenangan sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan
Indonesia No:900/Menkes/SK/VII/2002 tentang registrasi dan praktek bidan,yang
disebut dalam BAB V praktik bidan antara lain:
Pasal 14 :
bidan dalam menjalankan prakteknya berwenang
untuk memberikan pelayanan yang meliputi :
a.
Pelayanan kebidanan
b. Pelayanan
keluarga berencana
c. Pelayanan
kesehatan masyarakat
Pasal 15 :
(1) Pelayanan
kebidanan sebagaimana dimaksud dalam pasal 14 huruf (pelayanan kebidanan)
ditujukan pada ibu dan anak
(2) Pelayanan
kepada ibu diberikan pada masa pra nikah, pra hamil, masa hamil, masa bersalin
, masa nifas, menyusui dan masa antara (periode interval)
(3) Pelayanan kebidanan pada anak diberikan pada
masa bayi baru lahir,masa bayi,masa anak balita dan masa pra sekolah.
Pasal 16 :
(1) Pelayanan kebidanan kepada meliputi :
a. Penyuluhan dan konseling
b. Pemeriksaan fisik
c. Pelayanan antenatal pada kehamilan
normal
d. Pertolongan
pada kehamilan abnormal yang mencakup ibu hamil dengan abortus iminens,
hiperemesis grafidarum tingkat 1, pre eklamsi ringan dan anemia ringan.
e. Pertolongan
persalinan normal
f.
Pertolongan persalinan abnormal yang mencakup letak sungsang, partus macet
kepala di dasar panggul, ketuban pecah dini (KPD) tanpa infeksi, perdarahan
post partum, laserasi jalan lahir, distosia karena inersia uteri primer, post aterm
dan preterm.
g. Pelayanan ibu
nifas normal
h. Pelayanan ibu
nifas abnormal yang mencakup retensio plasenta,renjatan dan infeksi ringan
i.
Pelayanan dan pengobatan pada kelainan ginekologi yang meliputi
keputihan,perdarahan tidak teratur dan penundaan haid.
(2) Pelayanan kebidanan kepada anak meliputi:
a. Pemeriksaan
bayi baru lahir
b. Perawatan tali
pusat
c. Perawatan bayi
d. Resusitasi
pada bayi baru lahir
e. Pemantauan tumbuh kembang anak
f. Pemberian imunisasi
g. Pemberian penyuluhan
Pasal 18 : Bidan dalam memberikan pelayanan
sebagaimana dimaksud dalam pasal 16,berwenang untuk :
a. Memberikan imunisasi
b. Memberikan
suntikan pada penyulit kehamilan dan nifas
c. Mengeluarkan plasenta secara secara
manual
d. Bimbingan senam hamil
e. Pengeluaran
sisa jaringan konsepsi
f.
Episiotomi
g. Penjahitan
luka episiotomi dan luka jalan lahir sampai tingkat 2
h. Amniotomi pada pembukaan serviks lebih
dari 4 cm
i. Pemberian infuse
j.
Pemberian suntikan intramuskuler uterotonika
k. Kompresi
bimanual
l. Versi ekstrasi gemelli pada
kelahiran bayi kedua dan seterusnya
m. Vakum ekstraksi dengan kepala bayi di
dasar panggul
n. Pengendalian
anemi
o. Peningkatan
pemeliharaan dan penggunaan air susu ibu
p. Resusitasi
bayi baru lahir dengan asfiksia
q. Penanganan
hipotermi
r. Pemberian
minum dengan sonde/pipet
s.
Pemberian obat-obatan terbatas melalui lembaran ,permintaan , obat sesuai dengan
formulir IV terlampir
t.
Pemberian surat kelahiran dan kematian.
Standar Kompetensi
Kebidanan
Standar kompetensi
kebidanan yang berhubungan dengan anak dan imunisasi :
Undang-Undang
UU Kesehatan No. 23 Th 1992
pasal 15
ayat (1): Dalam keadaan darurat sebagai upaya
untuk menyclamatkan jiwaibu hamil dan atau janinnya, dapat ditakukan tindakan
medis tertentu.
Ayat (2): Tindakan medis tertentu sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dilakukan :
berdasarkan indikasi medis yang mengharuskan
diambilnya tindakan tersebut;
oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian
dan kewenangan untuk itu dan dilakukan sesuai dengan tanggung jawab profesi
serta berdasarkan pertimbangan tim ahli;
dengan persetujuan ibu hamil yang bersangkutan
atau suami atau keluarganya;
pada sarana kesehatan tertentu.
pasal 80
ayat (1): Barang siapa dengan sengaja melakukan
tindakan medis tertentu terhadap ibu hamil yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2), dipidana dengan
pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda paling banyak
Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).
E. PEMBAHASAN KASUS
Etika punya arti yang
berbeda-beda jika dilihat dari sudut pandang pengguna yang berbeda dari istilah
itu. Bagi ahli falsafah, etika adalah ilmu atau kajian formal tentang moralitas.
Moralitas adalah ha-hal yang menyangkut moral, dan moral adalah sistem tentang
motivasi, perilaku dan perbuatan manusia yang dianggap baik atau buruk. Franz
Magnis Suseno menyebut etika sebagai ilmu yang mencari orientasi bagi usaha
manusia untuk menjawab pertanyaan yang amat fundamental : bagaimana saya harus
hidup dan bertindak ? Peter Singer, filusf kontemporer dari Australia menilai
kata etika dan moralitas sama artinya, karena itu dalam buku-bukunya ia
menggunakan keduanya secara tertukar-tukar.
Bagi sosiolog, etika
adalah adat, kebiasaan dan perilaku orang-orang dari lingkungan budaya
tertentu. Bagi praktisi profesional termasuk dokter dan tenaga kesehatan
lainnya etika berarti kewajiban dan tanggung jawab memenuhi harapan
(ekspekatasi) profesi dan amsyarakat, serta bertindak dengan cara-cara yang
profesional, etika adalah salah satu kaidah yang menjaga terjalinnya interaksi
antara pemberi dan penerima jasa profesi secara wajar, jujur, adil, profesional
dan terhormat.
Bagi eksekutif puncak rumah
sakit, etika seharusnya berarti kewajiban dan tanggung jawab khusus terhadap
pasien dan klien lain, terhadap organisasi dan staff, terhadap diri sendiri dan
profesi, terhadap pemrintah dan pada tingkat akhir walaupun tidak langsung
terhadap masyarakat. Kriteria wajar, jujur, adil, profesional dan terhormat
tentu berlaku juga untuk eksekutif lain di rumah sakit.
Bagi asosiasi profesi,
etika adalah kesepakatan bersamadan pedoman untuk diterapkan dan dipatuhi semua
anggota asosiasi tentang apa yang dinilai baik dan buruk dalam pelaksanaan dan
pelayanan profesi itu.
Malpraktek meliputi
pelanggaran kontrak ( breach of contract), perbuatan yang disengaja
(intentional tort), dan kelalaian (negligence). Kelalaian lebih mengarah pada
ketidaksengajaan (culpa), sembrono dan kurang teliti. Kelalaian bukanlah suatu
pelanggaran hukum atau kejahatan, selama tidak sampai membawa kerugian atau
cedera kepada orang lain dan orang itu dapat menerimanya. Ini berdasarkan
prinsip hukum “de minimis noncurat lex”, hukum tidak mencampuri hal-hal yang
dianggap sepele.
Salah satu upaya untuk
menghindarkan dari malpraktek adalah adanya informed consent (persetujuan)
untuk setiap tindakan dan pelayanan medis pada pasien. Hal ini angat perlu
tidak hanya ntuk melindungi dar kesewenangan tenaga kesehatan seprti dokter
atau bidan, tetapi juga diperlukan untuk melindungi tenaga kesehatan dari
kesewenangan pasien yang melanggar batas-batas hukum dan perundang-undangan
malpraktek.Di Indonesia terdapat ketentuan informed consent yang diatur antara
lain pada peraturan pemerintah no 18 tahun 1981 yaitu:
Manusia dewasa sehat
jasmani dan rohani berhak sepenuhnya menentukan apa yang hendak dilakukan
terhadap tubuhnya. Dokter tidak berhak melakukan tindakan
medis yang bertentangan dengan kemauan pasien, walaupun untuk kepentingan
pasien sendiri.
Semua
tindakan medis (diagnostic, terapuetik maupun paliatif) memerlukan informed
consent secara lisan maupun tertulis.
Setiap tindakan medis
yang mempunyai resiko cukup besar, mengharuskan adanya persetujuan tertulis
yang ditandatangani pasien, setelah sebelumnya pasien memperoleh informasi yang
adekuat tentang perlunya tindakan medis yang bersangkutan serta resikonya.
Untuk
tindakan yang tidak termasuk dalam butir 3, hanya dibutuhkan persetujuan lisan
atau sikap diam.
Informasi
tentang tindakan medis harus diberikan kepada pasien, baik diminta maupun tidak
diminta oleh pasien. Menahan informasi tidak boleh, kecuali bila dokter/bidan
menilai bahwa informasi tersebut dapat merugikan kepentingan kesehatan pasien. Dalam
hal ini dokter dapat memberikan informasi kepada keluarga terdekat pasien.
Dalam
memberikan informasi kepada keluarga terdekat dengan pasien, kehadiran seorang
perawat/paramedic lain sebagai saksi adalah penting.
Isi informasi mencakup
keuntungan dan kerugian tindakan medis yang direncanakan, baik diagnostic,
terapuetik maupun paliatif. Informasi biasanya
diberikan secara lisan, tetapi dapat pula secara tertulis (berkaitan dengan
informed consent).
Apabila
bidan didakwa telah melakukan kesalahan profesi, hal ini bukanlah merupakan hal
yang mudah bagi siapa saja yang tidak memahami profesi kesehatan dalam
membuktikan ada dan tidaknya kesalahan. Dalam hal bidan didakwa telah melakukan
ciminal malpractice, harus dibuktikan apakah perbuatan bidan tersebut telah
memenuhi unsur tidak pidanya, yakni: apakah perbuatan (positif act atau negatif
act) merupakan perbuatan yang tercela dan apakah perbuatan tersebut dilakukan
dengan sikap batin (mens rea) yang salah (sengaja, ceroboh atau adanya
kealpaan).
Selanjutnya
apabila bidan dituduh telah melakukan kealpaan sehingga mengakibatkan pasien
meninggal dunia, menderita luka, maka yang harus dibuktikan adalah adanya unsur
perbuatan tercela (salah) yang dilakukan dengan sikap batin berupa alpa atau
kurang hati-hati ataupun kurang praduga.
Dalam
kasus atau gugatan adanya civil malpractice pembuktianya dapat dilakukan dengan
dua cara yakni :
1.
Cara langsung
Kelalaian memakai tolok
ukur adanya 4 D yakni :
a. Duty (kewajiban)
Dalam hubungan perjanjian bidan dengan pasien,
bidan haruslah bertindak berdasarkan
1) Adanya indikasi medis
2) Bertindak secara hati-hati dan teliti
3) Bekerja sesuai standar profesi
4) Sudah ada informed consent.
b. Dereliction of Duty (penyimpangan dari
kewajiban) Jika seorang bidan melakukan pekerjaan menyimpang dari apa yang
seharusnya atau tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan menurut standard
profesinya, maka bidan tersebut dapat dipersalahkan.
c. Direct Causation (penyebab langsung)
d. Damage (kerugian)
Bidan untuk dapat
dipersalahkan haruslah ada hubungan kausal (langsung) antara penyebab (causal)
dan kerugian (damage)yang diderita oleh karenanya dan tidak ada peristiwa atau
tindakan sela diantaranya., dan hal ini haruslah dibuktikan dengan jelas. Hasil
(outcome) negatif tidak dapat sebagai dasar menyalahkan bidan
Sebagai adagium dalam
ilmu pengetahuan hukum, maka pembuktiannya adanya kesalahan dibebankan/harus
diberikan oleh si penggugat (pasien).
2.
Cara tidak langsung
Cara
tidak langsung merupakan cara pembuktian yang mudah bagi pasien, yakni dengan
mengajukan fakta-fakta yang diderita olehnya sebagai hasil layanan (doktrin res
ipsa loquitur).
Doktrin res ipsa
loquitur dapat diterapkan apabila fakta-fakta yang ada memenuhi kriteria:
a. Fakta tidak mungkin
ada/terjadi apabila bidan tidak lalai
b. Fakta itu terjadi
memang berada dalam tanggung jawab bidan
c. Fakta itu terjadi
tanpa ada kontribusi dari pasien dengan perkataan lain tidak ada contributory
negligence.
Tidak
setiap upaya kesehatan selalu dapat memberikan kepuasan kepada pasien baik
berupa kecacatan atau bahkan kematian. Malapetaka seperti ini tidak mungkin
dapat dihindari sama sekali. Yang perlu dikaji apakah malapetaka tersebut
merupakan akibat kesalahan bidan atau merupakan resiko tindakan, untuk
selanjutnya siapa yang harus bertanggung gugat apabila kerugian tersebut
merupakan akibat kelalaian bidan. Di dalam transaksi teraputik ada beberapa
macam tanggung gugat, antara lain:
1.
Contractual liability
Tanggung
gugat ini timbul sebagai akibat tidak dipenuhinya kewajiban dari hubungan
kontraktual yang sudah disepakati. Di lapangan kewajiban yang harus
dilaksanakan adalah daya upaya maksimal, bukan keberhasilan, karena health care
provider baik tenaga kesehatan maupun rumah sakit hanya bertanggung jawab atas
pelayanan kesehatan yang tidak sesuai standar profesi/standar pelayanan.
2. Vicarius liability
Vicarius
liability atau respondeat superior ialah tanggung gugat yang timbul atas
kesalahan yang dibuat oleh tenaga kesehatan yang ada dalam tanggung jawabnya
(sub ordinate), misalnya rumah sakit akan bertanggung gugat atas kerugian
pasien yang diakibatkan kelalaian bidan sebagai karyawannya.
3. Liability in tort
Liability in tort adalah
tanggung gugat atas perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Perbuatan
melawan hukum tidak terbatas hanya perbuatan yang melawan hukum, kewajiban
hukum baik terhadap diri sendiri maupun terhadap orang lain, akan tetapi
termasuk juga yang berlawanan dengan kesusilaan atau berlawanan dengan
ketelitian yang patut dilakukan dalam pergaulan hidup terhadap orang lain atau
benda orang lain (Hogeraad 31 Januari 1919).
Upaya pencegahan
malpraktek dalam pelayanan kesehatan.Dengan adanya kecenderungan masyarakat
untuk menggugat bidan karena adanya mal praktek diharapkan para bidan dalam
menjalankan tugasnya selalu bertindak hati-hati, yakni:
a. Tidak
menjanjikan atau memberi garansi akan keberhasilan upayanya, karena perjanjian
berbentuk daya upaya (inspaning verbintenis) bukan perjanjian akan berhasil (resultaat
verbintenis).
b.
Sebelum melakukan intervensi agar selalu dilakukan informed consent.
c.
Mencatat semua tindakan yang dilakukan dalam rekam medis.
d. Apabila terjadi keragu-raguan,
konsultasikan kepada senior atau dokter.
e. Memperlakukan pasien secara manusiawi dengan
memperhatikan segala kebutuhannya.
f.
Menjalin komunikasi yang baik dengan pasien, keluarga dan masyarakat
sekitarnya.
Upaya menghadapi tuntutan hukum
Apabila upaya kesehatan
yang dilakukan kepada pasien tidak memuaskan sehingga bidan menghadapi tuntutan
hukum, maka bidan seharusnyalah bersifat pasif dan pasien atau keluarganyalah
yang aktif membuktikan kelalaian bidan.
Apabila tuduhan kepada
bidan merupakan criminal malpractice, maka bidan dapat melakukan :
a. Informal defence, dengan mengajukan
bukti untuk menangkis/menyangkal bahwa tuduhan yang diajukan tidak berdasar
atau tidak menunjuk pada doktrin-doktrin yang ada, misalnya bidan mengajukan
bukti bahwa yang terjadi bukan disengaja, akan tetapi merupakan risiko medik
(risk of treatment), atau mengajukan alasan bahwa dirinya tidak mempunyai sikap
batin (men rea) sebagaimana disyaratkan dalam perumusan delik yang dituduhkan.
Formal/legal defence, yakni melakukan pembelaan
dengan mengajukan atau menunjuk pada doktrin-doktrin hukum, yakni dengan
menyangkal tuntutan dengan cara menolak unsur-unsur pertanggung jawaban atau
melakukan pembelaan untuk membebaskan diri dari pertanggung jawaban, dengan
mengajukan bukti bahwa yang dilakukan adalah pengaruh daya paksa.
Berbicara mengenai
pembelaan, ada baiknya bidan menggunakan jasa penasehat hukum, sehingga yang
sifatnya teknis pembelaan diserahkan kepadanya.
Pada perkara perdata dalam tuduhan civil
malpractice dimana bidan digugat membayar ganti rugi sejumlah uang, yang
dilakukan adalah mementahkan dalil-dalil penggugat, karena dalam peradilan
perdata, pihak yang mendalilkan harus membuktikan di pengadilan, dengan
perkataan lain pasien atau pengacaranya harus membuktikan dalil sebagai dasar
gugatan bahwa tergugat (bidan) bertanggung jawab atas derita (damage) yang
dialami penggugat.
Untuk membuktikan adanya
civil malpractice tidaklah mudah, utamanya tidak diketemukannya fakta yang
dapat berbicara sendiri (res ipsa loquitur), apalagi untuk membuktikan adanya
tindakan menterlantarkan kewajiban (dereliction of duty) dan adanya hubungan
langsung antara menterlantarkan kewajiban dengan adanya rusaknya kesehatan
(damage), sedangkan yang harus membuktikan adalah orang-orang awam dibidang kesehatan
dan hal inilah yang menguntungkan bidan.
BAB III
PENUTUP
Atas dasar beberapa
uraian yang telah disebutkan di muka kiranya dapat diambil suatu kesimpulan
sehubungan dengan masalah malapraktek bidan, adalah sebagai berikut:
Kasus malapraktek
merupakan suatu kasus yang menarik, yang sering dialami oleh masyarakat, dan
yang sekaligus merupakan manifestasi dari kemajuan teknologi kesehatan dengan
berbagai peralatannya yang canggih. Sementara itu dengan semakin banyaknya
kasus malapraktek yang disidangkan di Pengadilan dan bermunculannya
berita-berita tentang malapraktek bidan di mass media karena kegagalannya dalam
berpraktek sehingga mengakibatkan cidera-nya atau meninggalkan pasien,
menunjukkan bahwa tingkat kesadaran hukum masyarakat mulai meningkat, sehingga
perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menimbulkan suatu perbenturan
atau sengketa.
Sedangkan altematif
untuk menyelesaikan sengketa itu sendiri, untuk sementara waktu ini belum
memadai, sehingga kasus-kasus malapraktek dijuimpai kandas di pemeriksaan
sidang pengadilan. Oleh sebab sangst diperlukan adanya suatu
pemikiran-pemikiran yang jernih dari para arsitek hukum untuk mene-mukan
altematif apa yang dapat dipakai dalam menghadapi kasus-kasus malapraktek tersebut,
sebab kasus ini sangat banyak berkaitan dengan kepentingan masyarakat,
khususnya bagi yang merasa dirugikannya.
No comments:
Post a Comment