IMPLEMENTASI
PANCASILA DI ERA SETELAH REFORMASI
1.1.
Implementasi Pancasila
Setelah
bangsa Indonesia berhasil merebut kedaulatan dan berhasil mendirikan negara
merdeka, perjuangan belum selesai. Perjuangan malah bisa dikatakan baru mulai,
yaitu upaya menciptakan masyarakat yang sejahtera lahir batin, sebagaimana
diamanatkan oleh Pembukaan UUD 1945. Para pendiri Negara (the founding father)
telah sepakat bahwa kemerdekaan bangsa akan diisi nilai-nilai yang telah ada
dalam budaya bangsa, kemudian disebut nilai-nilai Pancasila.
Pancasila mulai dibicarakan sebagai dasar negara mulai
tanggal 1 Juni 1945 dalam sidang BPPK oleh Ir. Soekarno dan pada tanggal 18
Agustus 1945 Pancasila resmi dan sah menurut hukum menjadi dasar negara
Republik Indonesia. Kemudian mulai Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Ketetapan
MPRS No. XX/MPRS/1966 berhubungan dengan Ketetapan No. I/MPR/1988 No.
I/MPR/1993, Pancasila tetap menjadi dasar falsafah Negara Indonesia hingga
sekarang.
Akibat hukum dari disahkannya Pancasila sebagai dasar
negara, maka seluruh kehidupan bernegara dan bermasyarakat haruslah didasari
oleh Pancasila. Landasan hukum Pancasila sebagai dasar negara memberi akibat
hukum dan filosofis; yaitu kehidupan negara dari bangsa ini haruslah berpedoman
kepada Pancasila. Bagaimana sebetulnya implementasi Pancasila dalam sejarah
Indonesia selama ini dan pentingnya upaya untuk mengimplementasikan nilai-nilai
Pancasila yang setelah reformasi mulai ditinggalkan demi tegaknya persatuan dan
kesatuan NKRI.
Penetapan Pancasila sebagai dasar negara dapat dikatakan
mulai pada masa orde lama, tanggal 18 Agustus 1945 sehari setelah Indonesia
baru memproklamirkan diri kemerdekaannya. Apalagi Soekarno akhirnya menjadi
presiden yang pertama Republik Indonesia.
Walaupun baru ditetapkan pada tahun 1945, sesungguhnya
nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila disarikan dan digali dari
nilai-nilai budaya yang telah ada dalam kehidupan masyarakat Indonesia.
Pencetus dan penggali Pancasila yang pertama adalah Soekarno sendiri. Sebagai
tokoh nasional yang paling berpengaruh pada saat itu, memilih sila-sila yang
berjumlah 5 (lima) yang kemudian dinamakan Pancasila dengan pertimbangan utama
demi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia dari Sabang sampai Merauke.
Pancasila yang merupakan dasar dan ideologi negara dan
bangsa wajib diimplementasikan dalam seluruh aspek kehidupan bernegara. Dalam
mewujudkan Pancasila melalui kebijakan ternyata tidaklah mulus, karena sangat
dipengaruhi oleh pimpinan yang menguasai negara, sehingga pengisian kemerdekaan
dengan nilai-nilai Pancasila menampilkan bentuk dan diri tertentu
A. Masa Orde Lama.
Pada masa Orde lama, Pancasila dipahami berdasarkan
paradigma yang berkembang pada situasi dunia yang diliputi oleh tajamnya
konflik ideologi. Pada saat itu kondisi politik dan keamanan dalam negeri
diliputi oleh kekacauan dan kondisi sosial-budaya berada dalam suasana
transisional dari masyarakat terjajah (inlander) menjadi masyarakat merdeka.
Masa orde lama adalah masa pencarian bentuk implementasi Pancasila terutama dalam
sistem kenegaraan. Pancasila diimplementasikan dalam bentuk yang berbeda-beda
pada masa orde lama. Terdapat 3 periode implementasi Pancasila yang berbeda,
yaitu periode 1945-1950, periode 1950-1959, dan periode 1959-1966.
Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja
menjadi masalah, tetapi lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti
Pancasila sebagai dasar negara dengan faham komunis oleh PKI melalui
pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan oleh DI/TII yang akan mendirikan negara
dengan dasar islam. Pada periode ini, nilai persatuan dan kesatuan masih tinggi
ketika menghadapi Belanda yang masih ingin mempertahankan penjajahannya di bumi
Indonesia. Namun setelah penjajah dapat diusir, persatuan mulai mendapat
tantangan. Dalam kehidupan politik, sila keempat yang mengutamakan musyawarah
dan mufakat tidak dapat dilaksanakan, sebab demokrasi yang diterapkan
adalah demokrasi parlementer, dimana presiden hanya berfungsi sebagai kepala
negara, sedang kepala pemerintahan dipegang oleh Perdana Menteri. Sistem ini
menyebabkan tidak adanya stabilitas pemerintahan. Kesimpulannya walaupun
konstitusi yang digunakan adalah Pancasila dan UUD 1945 yang presidensiil,
namun dalam praktek kenegaraan system presidensiil tak dapat diwujudkan.
Pada periode 1950-1959, walaupun dasar negara tetap
Pancasila, tetapi rumusan sila keempat bukan berjiwakan musyawarah mufakat,
melainkan suara terbanyak (voting). Sistem pemerintahannya yang liberal
sehingga lebih menekankan hak-hak individual. Pada periode ini persatuan dan kesatuan
mendapat tantangan yang berat dengan munculnya pemberontakan RMS, PRRI, dan
Permesta yang ingin melepaskan diri dari NKRI. Dalam bidang politik, demokrasi
berjalan lebih baik dengan terlaksananya pemilu 1955 yang dianggap paling
demokratis. Tetapi anggota Konstituante hasil pemilu tidak dapat menyusun UUD
seperti yang diharapkan. Hal ini menimbulkan krisis politik, ekonomi, dan
keamanan, yang menyebabkan pemerintah mengeluarkan Dekrit Presiden 1959 untuk
membubarkan Konstituante, UUD 1950 tidak berlaku, dan kembali kepada UUD 1945.
Kesimpulan yang ditarik dari penerapan Pancasila selama periode ini adalah
Pancasila diarahkan sebagai ideology liberal yang ternyata tidak menjamin
stabilitas pemerintahan.
Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi
terpimpin. Demokrasi bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin
adalah nilai-nilai Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden
Soekarno. Terjadilah berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam
konstitusi. Akibatnya Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden
seumur hidup, politik konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan
Komunis, yang ternyata tidak cocok bagi NKRI. Terbukti adanya kemerosotan moral
di sebagian masyarakat yang tidak lagi hidup bersendikan nilai-nilai Pancasila,
dan berusaha untuk menggantikan Pancasila dengan ideologi lain. Dalam
mengimplentasikan Pancasila, Bung Karno melakukan pemahaman Pancasila dengan
paradigma yang disebut USDEK. Untuk memberi arah perjalanan bangsa, beliau
menekankan pentingnya memegang teguh UUD 45, sosialisme ala Indonesia, demokrasi
terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian nasional. Hasilnya terjadi kudeta
PKI dan kondisi ekonomi yang memprihatinkan. Walaupun posisi Indonesia tetap
dihormati di dunia internasional dan integritas wilayah serta semangat
kebangsaan dapat ditegakkan. Kesimpulan yang ditarik adalah Pancasila telah
diarahkan sebagai ideology otoriter, konfrotatif dan tidak member ruang pada
demokrasi bagi rakyat.
B. Masa Orde Baru.
Orde baru berkehendak ingin melaksanakan Pancasila dan
UUD 1945 secara murni dan konsekuen sebagai kritik terhadap orde lama yang
telah menyimpang dari Pancasila. Situasi internasional kala itu masih diliputi
konflik perang dingin. Situasi politik dan keamanan dalam negeri kacau dan
ekonomi hampir bangkrut. Indonesia dihadapkan pada pilihan yang sulit,
memberikan sandang dan pangan kepada rakyat atau mengedepankan kepentingan
strategi dan politik di arena internasional seperti yang dilakukan oleh
Soekarno.
Dilihat dari konteks zaman, upaya Soeharto tentang
Pancasila, diliputi oleh paradigma yang esensinya adalah bagaimana menegakkan
stabilitas guna mendukung rehabilitasi dan pembangunan ekonomi. Istilah
terkenal pada saat itu adalah stabilitas politik yang dinamis diikuti dengan
trilogi pembangunan. Perincian pemahaman Pancasila itu sebagaimana yang kita
lihat dalam konsep P4 dengan esensi selaras, serasi dan seimbang. Soeharto
melakukan ijtihad politik dengan melakukan pemahaman Pancasila melalui apa yang
disebut dengan P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) atau
Ekaprasetia Pancakarsa. Itu tentu saja didasarkan pada pengalaman era
sebelumnya dan situasi baru yang dihadapi bangsa.
Pada awalnya memang memberi angin segar dalam pengamalan
Pancasila, namun beberapa tahun kemudian kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
ternyata tidak sesuai dengan jiwa Pancasila. Walaupun terjadi peningkatan
kesejahteraan rakyat dan penghormatan dari dunia internasional, Tapi kondisi
politik dan keamanan dalam negeri tetap rentan, karena pemerintahan
sentralistik dan otoritarian. Pancasila ditafsirkan sesuai kepentingan
kekuasaan pemerintah dan tertutup bagi tafsiran lain. Demokratisasi akhirnya
tidak berjalan, dan pelanggaran HAM terjadi dimana-mana yang
dilakukan oleh aparat pemerintah atau negara. Pancasila seringkali digunakan
sebagai legimitator tindakan yang menyimpang. Ia dikeramatkan sebagai alasan
untuk stabilitas nasional daripada sebagai ideologi yang memberikan ruang
kebebasan untuk berkreasi. Kesimpulan, Pancasila selama Orde Baru diarahkan
menjadi ideology yang hanya menguntungkan satu golongan, yaitu loyalitas
tunggal pada pemerintah dan demi persatuan dan kesatuan hak-hak demokrasi
dikekang.
C. Masa Orde Reformasi
Seperti juga Orde Baru yang muncul dari koreksi terhadap
Orde Lama, kini Orde Reformasi, jika boleh dikatakan demikian, merupakan orde
yang juga berupaya mengoreksi penyelewengan yang dilakukan oleh Orde Baru.
Hak-hak rakyat mulai dikembangkan dalam tataran elit maupun dalam tataran
rakyat bawah. Rakyat bebas untuk berserikat dan berkumpul dengan mendirikan
partai politik, LSM, dan lain-lain. Penegakan hukum sudah mulai lebih baik
daripada masa Orba. Namun, sangat disayangkan para elit politik yang mengendalikan
pemerintahan dan kebijakan kurang konsisten dalam penegakan hukum. Dalam bidang
sosial budaya, disatu sisi kebebasan berbicara, bersikap, dan bertindak amat
memacu kreativitas masyarakat. Namun, di sisi lain justru menimbulkan semangat
primordialisme. Benturan antar suku, antar umat beragama, antar kelompok, dan
antar daerah terjadi dimana-mana. Kriminalitas meningkat dan pengerahan masa
menjadi cara untuk menyelesaikan berbagai persoalan yang berpotensi tindakan
kekerasan.
Kondisi nyata saat ini yang dihadapi adalah munculnya ego
kedaerahan dan primordialisme sempit, munculnya indikasi tersebut sebagai salah
satu gambaran menurunnya pemahaman tentang Pancasila sebagai suatu ideologi,
dasar filsafati negara, azas, paham negara. Padahal seperti diketahui Pancasila
sebagai sistem yang terdiri dari lima sila (sikap/ prinsip/pandangan hidup) dan
merupakan suatu keutuhan yang saling menjiwai dan dijiwai itu digali dari
kepribadian bangsa Indonesia yang majemuk bermacam etnis/suku bangsa, agama dan
budaya yang bersumpah menjadi satu bangsa, satu tanah air dan satu bahasa
persatuan, sesuai dengan sesanti Bhineka Tunggal Ika.
Menurunnya rasa persatuan dan kesatuan diantara sesama
warga bangsa saat ini adalah yang ditandai dengan adanya konflik dibeberapa
daerah, baik konflik horizontal maupun konflik vertikal, seperti halnya yang
masih terjadi di Papua,Maluku. Berbagai konflik yang terjadi dan telah banyak
menelan korban jiwa antar sesama warga bangsa dalam kehidupan masyarakat,
seolah-olah wawasan kebangsaan yang dilandasi oleh nilai-nilai Pancasila yang
lebih mengutamakan kerukunan telah hilang dari kehidupan masyarakat Indonesia.
Orde Reformasi yang baru berjalan beberapa tahun telah
memiliki empat Presiden. Pergantian presiden sebelum waktunya karena berbagai
masalah. Pada era Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarno Putri,
Pancasila secara formal tetap dianggap sebagai dasar dan ideologi negara, tapi
hanya sebatas pada retorika pernyataan politik. Ditambah lagi arus globalisasi
dan arus demokratisasi sedemikian kerasnya, sehingga aktivis-aktivis
prodemokrasi tidak tertarik merespons ajakan dari siapapun yang berusaha
mengutamakan pentingnya Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara.
Ideologi negara yang seharusnya menjadi acuan dan
landasan seluruh elemen bangsa Indonesia khususnya para negarawan dan para
politisi serta pelaku ekonomi dalam berpartisipasi membangun negara, justru
menjadi kabur dan terpinggirkan. Hasilnya NKRI mendapat tantangan yang berat.
Timor-Timur yang telah lama bergabung dalam NKRI melalui perjuangan dan
pengorbanan lepas dengan sekejap pada masa reformasi tersebut. Daerah-daerah
lain juga mengancam akan berdiri sendiri bila tuntutannya tidak dipenuhi oleh
pemerintah pusat. Tidak segan-segan, sebagian masyarakat menerima aliran dana
asing dan rela mengorbankan kepentingan bangsanya sebagai imbalan dolar.
Dalam bahasa intelijen kita mengalami apa yang dikenal
dengan ”subversi asing”, yakni kita saling menghancurkan negara sendiri karena
campur tangan secara halus pihak asing. Di dalam pendidikan formal, Pancasila
tidak lagi diajarkan sebagai pelajaran wajib sehingga nilai-nilai Pancasila
pada masyarakat melemah.
2.2
Pancasila Pasca Reformasi
Pancasila
mengandung makna yang amat penting bagi sejarah perjalanan Bangsa Indonesia. Karena
itulah Pancasila dijadikan sebagai dasar negara ini. Artinya segala tindak
tanduk dari orang-orang yang termaktub sebagai warga negara dari republik yang
bernama Indonesia, haruslah didasarkan pada nilai-nilai dan semangat Pancasila.
Apakah dia sebagai seorang politisi, birokrat, aktivis, buruh, mahasiswa dan
lain sebagainya. Pancasila dan UUD 1945 sudah final dan tidak boleh lagi
diganggu gugat sebagai landasan dan falsafah yang mengatur dan mengikat
kehidupan berbangsa dan bernegara. Pancasila pun terbukti sangat ampuh sebagai
pedoman kehidupan bersama, termasuk kehidupan dalam berpolitik. Tidak ada yang
lain. Ideologi Pancasila dan UUD 1945 tidak perlu lagi diperdebatkan lagi. Itu
sudah menjadi kesepakatan masyarakat Indonesia ketika negara ini didirikan.
Bahkan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila tersebut adalah hasil dari
penggalian karakter dan budaya masyarakat Indonesia.
Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia.Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh bertentangan dengan ideology yang resmi yaitu Pancasila yang sudah direduksi oleh ideologi negara/Orde Baru.
Sejarah kesaktian Pancasila adalah sejarah yang sangat berharga. Peringatan Hari Kesaktian Pancasila setiap tanggal 1 Oktober, harus dijadikan sebagai kesempatan untuk merefleksikan tentang pemaknaan nilai-nilai dan kesaktian Pancasila itu sendiri. Pancasila adalah dasar negara. Pancasila adalah asal tunggal dan menjadi sumber dari segala sumber hukum yang mengatur masyarakat Indonesia, termasuk kehidupan berpolitik. Karena itu, partai politik sebagai salah satu infrastruktur politik dan segala sesuatu yang hadir dan lahir di negara ini, harus tunduk dan taat pada Pancasila.Indoktrinasi Pancasila yang dilakukan pemerintahan Orde Baru selama 32 tahun ternyata tidak banyak menyentuh pemahaman publik atas dasar negara Indonesia itu. Pancasila lebih banyak dimaknai sebagai konsepsi dan alat politik penguasa. Memang rezim Orde Baru berhasil mempertahankan Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara sekaligus berhasil mengatasi paham komunis di Indonesia.Akan tetapi, implementasi dan aplikasinya sangat mengecewakan kita semua. Sadar atau tidak sadar, rezim Orde Baru kian lama kian menggeser hakekat perjuangan mempertahankan Pancasila menjadi perjuangan untuk mempertahankan kekuasaan. Acapkali kiat yang digunakan rezim Orde Baru dalam menghadapi sikap yang berseberangan dengan pemerintah ialah dengan membenturkannya dengan persoalan ideologi. Ideologi yang sebenarnya bersifat sistemik tidak boleh bertentangan dengan ideology yang resmi yaitu Pancasila yang sudah direduksi oleh ideologi negara/Orde Baru.
Disinilah terjadi penafsiran sepihak terhadap Pancasila
oleh rezim Orde Baru. Ideologi yang bertentangan akan berada dalam kategori
yang harus dimusnahkan atau ditindak. Pengasastunggalan Pancasila merupakan
cara rezim Orde Baru untuk menyatukan pandangan-pandangan, tetapi akhirnya
menjadi penindasan ideologis, sehingga orang-orang yang mempunyai gagasan
kreatif dan kritis menjadi takut. Belum lagi penindasan secara fisik seperti
pembunuhan terhadap orang di Timor-Timur, Aceh, Irian Jaya, kasus Tanjung
Priok, pengrusakan/penghancuran pada kasus 27 Juli dan seterusnya. Perlakuan
diskriminasi oleh negara juga dirasakan oleh masyarakat non pribumi (keturunan)
dan masyarakat golongan minoritas. Mereka merasa diasingkan, bahkan acapkali
mereka hanya dijadikan sebagai kambing hitam jika ada masalah, atau diperas
secara ekonomi. Sedangkan orang-orang yang dijadikan tapol dan napol dijadikan
sebagai contoh bagi masyarakat bagaimana kalau mereka tidak tunduk kepada
penguasa. Inilah salah satu contoh bentuk kekerasan politik.
Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Anti Subversi merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk menjerat pi hak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dengan dalih GPK, PKI, OTB, dan sebagainya. Penguasa Orde Baru bukan lagi memberantas kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah melakukan berbagai bentuk kejahatan politik dan melanggar HAM. Dengan subjektivitasnya, penguasa ORBA bertindak sebagai "wasit" yang menilai warganya, apakah perbuatan seseorang itu tergolong subversif atau bukan. Dalam hal ini hanya masyarakat pembangkang saja yang diposisikan sebagai obyek UU Subversi itu. Sedangkan pihak-pihak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bahagian dari sistem pemerintahan Orde Baru. Ditinjau dari segi demokrasi sebagai wujud pelaksanaan Sila IV, rezim Orde Baru justru menghambat proses demokratisasi itu sendiri. Antara lain; dengan proses departaisasi atau pembatasan jumlah partai, pengekangan kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis demokrasi, rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya. Di bidang hukum, penyelesaian kasus yang berkaitan dengan penguasa tidak mencerminkan rasa keadilan, misalnya; kasus Marsinah, kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian Jaya), kasus Udin, kasus Jamsostek yang melibatkan pejabat negara, dan lain-lain.
Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru seakan-akan memuncak ketika gong reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya, menjelang dan sesudah Soeharto "lengser" dari jabatan Presiden RI, 21 Mei 1998 lalu, berbagai peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai kehidupan bangsa kita sekaligus menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai dasar dan ideology negara. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini. Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi. Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil.
Produk hukum Orde Lama, yaitu UU No. 11/PNPS/ 1963 tentang Anti Subversi merupakan salah satu alat yang dipakai penguasa Orde Baru untuk menjerat pi hak-pihak yang dianggap berseberangan dengan pemerintah dengan dalih GPK, PKI, OTB, dan sebagainya. Penguasa Orde Baru bukan lagi memberantas kejahatan terhadap negara tetapi justru mereka telah melakukan berbagai bentuk kejahatan politik dan melanggar HAM. Dengan subjektivitasnya, penguasa ORBA bertindak sebagai "wasit" yang menilai warganya, apakah perbuatan seseorang itu tergolong subversif atau bukan. Dalam hal ini hanya masyarakat pembangkang saja yang diposisikan sebagai obyek UU Subversi itu. Sedangkan pihak-pihak yang melakukan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) menjadi bahagian dari sistem pemerintahan Orde Baru. Ditinjau dari segi demokrasi sebagai wujud pelaksanaan Sila IV, rezim Orde Baru justru menghambat proses demokratisasi itu sendiri. Antara lain; dengan proses departaisasi atau pembatasan jumlah partai, pengekangan kebebasan pers, penahanan dan penculikan para aktivis demokrasi, rekayasa politik, kecurangan dalam pemilu, dan sebagainya. Di bidang hukum, penyelesaian kasus yang berkaitan dengan penguasa tidak mencerminkan rasa keadilan, misalnya; kasus Marsinah, kasus Kedung Ombo, kasus Ohee (Irian Jaya), kasus Udin, kasus Jamsostek yang melibatkan pejabat negara, dan lain-lain.
Akumulasi ketidakadilan dan kebobrokan rezim Orde Baru seakan-akan memuncak ketika gong reformasi mulai dibunyikan. Akibatnya, menjelang dan sesudah Soeharto "lengser" dari jabatan Presiden RI, 21 Mei 1998 lalu, berbagai peristiwa dan kondisi buruk kembali mewarnai kehidupan bangsa kita sekaligus menjadi cobaan berat bagi Pancasila sebagai dasar dan ideology negara. Pemaknaan baru selama Orde Reformasi, di satu sisi, juga memperlemah memori publik soal dasar negara ini. Orde Baru sepanjang kekuasaannya bisa menanamkan Pancasila sebagai doktrin absolut. Upaya doktrinasi dilakukan secara komprehensif lewat pendidikan. Ideologisasi Pancasila tak hanya ditekankan dalam sistem kepartaian dan praktik politik, tetapi juga dalam ranah pendidikan, mulai dari tingkat pendidikan dasar sampai perguruan tinggi. Ideologisasi yang dilakukan secara represif di tatar pendidikan mengarah pada pengultusan Pancasila sebagai simbol keramat. Ini dilakukan melalui langkah seperti pembacaan teks Pancasila di setiap upacara di setiap sekolah dari sekolah dasar hingga sekolah tingkat atas, indoktrinasi melalui Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4), hingga pendidikan kewiraan di tingkat perguruan tinggi. Pascaruntuhnya Orde Baru, gelombang keterbukaan membuka kemungkinan masyarakat untuk memaknai ulang Pancasila sebagai dasar negara. Wacana soal apakah Pancasila merupakan ideologi atau bukan berkembang selama rezim reformasi. Sejumlah kelompok menerjemahkan Pancasila bukan sebagai ideologi, melainkan kontrak sosial yang dirumuskan para founding fathers saat mendirikan negara ini.
Onghokham adalah salah satu tokoh yang menyatakan Pancasila bukanlah falsafah atau ideologi. Pancasila adalah dokumen politik dalam proses pembentukan negara baru, yakni kontrak sosial yang merupakan persetujuan atau kompromi di antara sesama warga negara tentang asas negara baru. Ia menyamakan Pancasila dengan dokumen penting beberapa negara lain, seperti Magna Carta di Inggris, Bill of Right di Amerika Serikat, atau Droit de l’homme di Perancis. Pancasila sebagai sebuah kontrak sosial dari pendiri bangsa ini faktanya memang mampu bertahan hingga kini. Sejarah mencatat sejumlah upaya penggeseran landasan negara kepada bentuk asas lain pada masa awal berdirinya bangsa ini menemui kegagalan. Namun, setelah melampaui sekian banyak tantangan, eksistensi Pancasila sejauh ini masih banyak dimaknai sebagai konsepsi politik yang substansinya belum mampu diwujudkan secara riil.
Semenjak
Orba ditumbangkan oleh gerakan reformasi, Pancasila sebagai ideologi bangsa
Indonesia telah kehilangan tempatnya yang mapan. Semacam ada phobia dan
ke-alergi-an masyarakat negara-bangsa ini untuk mengakui Pancasila apalagi
mencoba untuk menelaahnya. Meskipun negara ini masih menjaga suatu konsensus
dengan menyatakan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Namun secara faktual,
agaknya kita harus mempertanyakannya kembali. Karena saat ini debat tentang
masih relevan atau tidaknya Pancasila dijadikan ideologi masih kerap terjadi.
Apalagi ditengah kegalauan dan kegagalan negara-bangsa menapak dengan tegak
jalur sejarahnya sehingga selalu jatuh bangun dan labil.Pancasila sebagai
satu-satunya ideologi yang diakui di negeri ini, sempat menjadi sema.
Sudah hitungan tahun Indonesia memasuki era
reformasi. Berbagai perubahan dilakukan untuk memperbaiki sendi-sendi kehidupan
berbangsa dan bernegara di bawah payung ideologi Pancasila. Namun, faktanya
masih banyak masalah sosial-ekonomi yang belum terjawab. Eksistensi dan peranan
Pancasila dalam reformasi pun dipertanyakan. Mampukah Pancasila memberikan
pengharapan lebih baik untuk negeri ini? Dilihat dari faktanya sungguh
memprihatinkan. Reformasi belum berlansung dengan baik karena Pancasila belum
difungsikan secara maksimal sebagaimana mestinya. Banyak masyarakat yang hafal
butir-butir Pancasila, tetapi belum memahami makna sesungguhnya.
Bangsa Indonesia merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. “Kita alami bersama-sama dan sebagian sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan sisanya, sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita bersama dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui kerawanan dalam masa transisi, nilai dan tatanan lama telah ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujudngat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.
Bangsa Indonesia merasakan delapan tahun berselang ini, terutama pada awal-awal reformasi, di sana-sini dalam penggal-penggal waktu tertentu muncul semacam disorientasi, penolakan, konflik, kegamangan, pesimisme, apatisme, demoralisasi, kekosongan, kemarahan dan bahkan kebencian. “Kita alami bersama-sama dan sebagian sudah dapat kita lewati, sebagian masih kita rasakan sisanya, sebagian masih terasa mencekam dalam kehidupan kita bersama dewasa ini. Orang lantas sering berbicara lantang, kita mesti membangun Indonesia baru karena itu dalam konteks itu muncul sejumlah kecenderungan. Secara sosiologis kita mengetahui kerawanan dalam masa transisi, nilai dan tatanan lama telah ditinggalkan, sementara nilai dan tatanan baru belum terwujudngat perjuangan dan pemikiran setiap warga negara Indonesia.
Eksistensi Pancasila di era reformasi ini mestinya menjadi dasar, acuan atau paradigma baru. Pancasila adalah dasar negara yang sesuai dengan pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam UUD 1945. Tetapi sekarang bangsa ini sering mengenyampingkan Pancasila. Padahal reformasi yang benar justru melaksanakan atau mengamalkan Pancasila untuk kehidupan berbangsa, bernegara, dan bermasyarakat. Dengan jiwa Pancasila seharusnya gerakan reformasi harus mampu menggalang persatuan demi pembenahan krisis multidimensional dewasa ini. Tidak satu golonganpun bisa memenangkan reformasi tanpa persatuan dengan golongan-golongan lainnya. Pengalaman kegagalan dan kemacetan gerakan reformasi selama ini telah membuktikan hal itu. Dengan persatuan setapak demi setapak gerakan reformasi akan diharapkan membawa Indonesia menjadi negara yang demokratik, kuat sentosa, aman tenteram dan adil makmur. Harap dicamkan: ”Persatuanlah yang membawa kita ke arah kebesaran dan kemerdekaan..” Dan agar persatuan bisa tercapai: “Kita harus bisa menerima; tetapi kita juga harus bisa memberi. Inilah rahasianya Persatuan” Demikianlah “2 kalimat kunci persatuan” Bung Karno yang diamanatkan kepada kita bangsa Indonesia 76 tahun yang lalu.
Agar Pancasila yang telah dikaitkan langsung dengan doktrin Bhinneka Tunggal Ika itu dapat berjalan dengan stabil, seluruh kaidahnya harus dituangkan dalam format hukum, yang selalu harus dijaga agar sesuai dengan perkembangan rasa keadilan masyarakat. Kita patut bersyukur, bahwa empat kali amandemen UUD 1945 dalam era reformasi nasional telah mampu menampung dinamika bangsa ini, khususnya dengan mengakui kesetaraan antara berbagai unsur dalam batang tubuh bangsa Indonesia serta mewadahinya dalam sistem dan struktur pemerintahan yang baru.
KESIMPULAN
:
· Konsep
Pancasila sebagai asar negara di ajukan oleh Ir. Soekarno dalam pidatonya di
hari terakhir siding pertama BPUPKI tanggal 1 juni 1945, yang isinya untuk
menjadikan Pancasila sebagai dasar falsafah negara atau filosophischegrondslag
bagi mnegara Indopnesia merdeka.
· Bangsa
dan negara RI dengan ideologi Pancasila meiliki cita-cita atau pandangan dalam
mendukung tercapainya tujuan nasional negara RI.
Idiologi
pancasila memiliki berbagai aspek, baik berupa cita-cita pemikiran atau
nilai-nilai maupun norma yang baik dapat di realisasikan dalam kehidupan
praksis dan bersifat terbuka dengan memiliki tiga dimensiyaitu:
a. Dimensi idialis artinya nilai-nilai dasar dari pancasila memilikiu sifat yang sistematis,juga rasional dan bersifat menyeluruh.
b. Dimensi normatis merupakan nilai-nilai yang terrkandung dalam sila pancasila yang perlu di jabarkan kedalam system norma sehingga tersirat dan tersurat dalam norma-norma negara.
c. Dimensi realistis adalah nilai-nilai pancasila yang di maksud di atas harus mampu memberikan pencerminan atas realitas yang hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya
a. Dimensi idialis artinya nilai-nilai dasar dari pancasila memilikiu sifat yang sistematis,juga rasional dan bersifat menyeluruh.
b. Dimensi normatis merupakan nilai-nilai yang terrkandung dalam sila pancasila yang perlu di jabarkan kedalam system norma sehingga tersirat dan tersurat dalam norma-norma negara.
c. Dimensi realistis adalah nilai-nilai pancasila yang di maksud di atas harus mampu memberikan pencerminan atas realitas yang hidup dan berkembang dalam penyelenggaraan negara.
Pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia memiliki perbedaan dengan sistem kapitalisme-liberal maupun sosialisme-komunis. Pancasila mengakui dan melindungi baik hak-hak individu maupun hak masyarakat baik di bidang ekonomi maupun politik. Dengan demikian ideologi kita mengakui secara selaras baik kolektivisme maupun individualisme. Demokrasi yang dikembangkan, bukan demokrasi politik semata seperti dalam ideologi liberal-kapitalis, tetapi juga demokrasi ekonomi. Dalam sistem kapitalisme liberal dasar perekonomian bukan usaha bersama dan kekeluargaan, namun kebebasan individual untuk berusaha. Sedangkan dalam sistem etatisme, negara yang mendominasi perekonomian, bukan warga negara baik sebagai individu maupun bersama-sama dengan warga negara lainnya
SARAN
:
· Kegunaan
teoritik bahwa dengan mempelajari filsafat orang bertambah pengetahuanya.bahkan
ia mampu mempelajari segala sesuatu dengan cara yang baik.mendalam dan lebih
luas.
Bagi bangsa Indonesia , filsafat Pancasila sangat berguna, selain manusia sebagai perseorangan juga sebagai warga suatu masyarakat bangsa mendukung cita-cita ataupun tujuan nasional, karena filsafat pancasila adalah landasan dasarnya, juga landasan dasar berpikir segenap bangsa dan negara Indonesia.
Bagi bangsa Indonesia , filsafat Pancasila sangat berguna, selain manusia sebagai perseorangan juga sebagai warga suatu masyarakat bangsa mendukung cita-cita ataupun tujuan nasional, karena filsafat pancasila adalah landasan dasarnya, juga landasan dasar berpikir segenap bangsa dan negara Indonesia.
· Menghadapi
era globalisasi ekonomi, ancaman bahaya laten terorisme, komunisme dan
fundamentalisme merupakan sebuah tantangan tersendiri bagi bangsa Indonesia.
Disamping itu yang patut diwaspadai adalah pengelompokan suku bangsa
di Indonesia yang kini semakin kuat. Ketika bangsa ini kembali
dicoba oleh pengaruh asing untuk dikotak kotakan tidak saja oleh konflik
vertikal tetapi juga oleh pandangan terhadap ke Tuhanan Yang Maha Esa.Maka dari
itu Perlunya Penanaman Pancasila dalam kehidupan
No comments:
Post a Comment